Foto : Juleha, salah satu anggota PMKRI Ketapang kampanyekan dukungan untuk dorong perempuan 30% di Parlemen |
“Ayo kita dukung keterwakilan perempuan 30% di parlemen”, seru Juleha salah seorang anggota PMKRI cabang Ketapang dalam pelatihan Jurnalisme Warga pada Sabtu, 11 Juni 2022 yang lalu.
Ia
menyampaikan pendapatnya bahwa perempuan harus berpartisipasi aktif dalam giat
demokrasi apalagi perhelatan Pemilu Serentak 2024 tidak lama lagi. “Dengan
perempuan ambil peran, diharapkan ia nantinya dapat juga memperjuangkan
aspirasi-aspirasi kaumnya dengan kebijakan-kebijakan yang tentu dapat
mengakomodir apa yang menjadi kebutuhan
perempuan dengan berbagai permasalahan seperti fasilitas Kesehatan, kekerasan
perempuan dan anak, human trafficking dll”, tambahnya kembali.
Indonesia
telah lama mengesahkan Undang-Undang (UU) No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi
Konvensi Hak Politik Perempuan. Di dalamnya, mengatur mengenai Perwujudan
Kesamaan Kedudukan (non diskriminasi), jaminan persamaan hak memilih dan
dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati
posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial
politik. Namun, peningkatan keterwakilan perempuan terjadi setelah berlakunya
perubahan UndaangUndang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu
pasal 28 H ayat (2 ) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan
dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan”
Kebijakan
afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik setelah
berlakunya perubahan UUD 1945 dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha
dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di dalam mengajukan
calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan: „‟Setiap Partai Politik Peserta
Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30%.‟‟
UU
No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi
penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 6
ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa : „‟Komposisi keanggotaan KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)‟‟
Pada
kelembagaan partai politikpun, affirmatic action dilakukan dengan mengharuskan
partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam penidirian
maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik yang mengatur syarat pendirian Partai Politik, pada Pasal 2 menyatakan:
„‟Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan‟‟. Pada ayat
sebelumnya dinyatakan bahwa: ‟‟Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh
paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia
21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris‟‟.
Dari
pemaparan di atas tentu sangat jelas bahwa keterlibatan perempuan dalam giat
demokrasi mulai dari hak pilih dan dipilih, hak keterlibatan sebagai
penyelenggara, hak keterwakilan dalam organisasi partai politik telah
diakomodir oleh Undang-Undang. Tinggal menunggu bagaimana praktek realisasinya.
Tentu hal ini perlu disosialisasikan secara terus menerus sehingga warga, khususnya kaum perempuan juga memiliki kesadaran dan mengambil perannya untuk
dpaat memperjuangkan aspirasi kaumnya. (Dky-JWKS)
0 Komentar