Foto : Kabut Asap yang melanda Kalbar |
Kebakaran lahan dan hutan serta kabut asap seakan menjadi agenda rutin ketika musim kering/kemarau di Kalimantan Barat. Betapa tidak setiap tahun selalu berulang dan berulang bencana kabut asap itu. Bahkan ada anekdot menyampaikan bahwa ada 3 musim di Kalbar yakni musim penghujan, musim kemarau dan musim kabut asap.
Dampak dari kabut asap ini jangan dipertanyakan lagi mulai dari dampak bagi kesehatan, dunia transportasi, pendidikan, sosial dan ekonomi. Namun kondisi ini juga semakin diperparah dengan statement atau pernyataan beberapa pihak yang sering menyimpulkan dengan dini tentang penyebab kabut asap. Terakhir pernyataan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho yang menyebutkan “gawai serentak menjadi penyebab kebakaran lahan dan kabut asap”.
Seperti dirilis oleh CNN Indonesia, Jumat 24 Agustus 2018 "Masyarakat di Kabupaten Sanggau, Sambas, Ketapang, Kubu Raya dan lainnya memiliki tradisi 'gawai serentak', yaitu kebiasaan persiapan musim tanam dengan membuka lahan dengan cara membakar," terang Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan tertulisnya, Kamis (23/8).
Pernyataan itu tentu menjadi polemik dan menimbulkan protes dari kalangan masyarakat adat khususnya masyarkat adat Dayak. Seperti dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Kalbar melayangkan somasi kepada Kepala BNPB tersebut sepert dikutip dari Tribun Pontianak yang terbit Minggu 26 Agustus 2018.
"Jadi kami mensomasi BNPB berdasarkan pemberitaan yang dikeluarkan oleh https://www.cnnindonesia.com dengan Judul Tradisi ‘Gawai Serentak’ Malah Picu Kebakaran Hutan di Kalbar," ujar Advokasi Biro Hukum AMAN Kalbar Glorio Sanen SH di kantornya di Ngabang pada Minggu (26/8/2018).
Berikut isi Somasi yang dilayangkan oleh PW AMAN Kalbar.
1. Bahwa Gawai bagi Masyarakat Adat di Kalbar adalah tradisi syukuran setelah Panen yang mana Jadwal Gawai disesuaikan dengan Kalender Berladang Masyarakat Adat.
2. Berladang adalah sistem Pertanian Masyarakat Adat sejak jauh sebelum kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu 17 Agustus 1945 yang dilaksanakan di Wilayah Bukit atau Gunung (Bukan Kawasan Gambut).
3. Bahwa Berladang tidak menyebabkan kebakaran lahan secara masif dan berladang juga menggunakan sejumlah cara saat membakar lahan untuk menghindari terjadinya kebakaran, peristiwa kebakaran secara besar-besaran justru baru terjadi di Kalimantan Barat pada tahun 1997 karena di saat yang bersamaan ada banyak perusahaan-perusahaan besar masuk.
4. Berdasarkan Pasal 69 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa Masyarakat Adat dibolehkan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar sesuai dengan kearifan lokal dengan syarat melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 (Dua) hektar per Kepala Keluarga untuk ditanami jenis varietas local dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
5. Bahwa pemberitaan dengan Judul Tradisi ‘Gawai Serentak’ Malah Picu Kebakaran Hutan di Kalbar telah menyakiti hati Masyarakat Adat karena memberikan kesan Bahwa Masyarakat Adat lah penyebab utama dari Bencana Kabut Asap di Kalimantan Barat.
Selain lima pernyataan tersebut AMAN Kalbar juga meminta Sutopo Purwo Nugroho untuk mengklarifikasi dan menyampaikan permintaan maaf terkait pernyataannya. Terkait dengan hal tersebut sudah direspon oleh Sutopo Purwo Nugroho dengan tweet-nya.
“Terkait dengan adanya dugaan tradisi gawai serentak yang menambah jumlah hotspot di Kalbar seperti yang saya twitterkan tempo hari. Saya cabut kembali pernyataan tersebut. Twitter tersebut sudah saya delete beberapa hari yang lalu. Mohon dimaafkan jika salah,” tulis Sutopo Purwo Negoro di akun twitter miliknya, @sutopo_PN, Minggu (26/8/2018).
Ia menjelaskan, dirinya tidak bermaksud untuk menyakiti masyarakat terkait dengan tradisi gawai serentak. Menurutnya, Satelit Modis hanya mendeteksi semua titik panas yang ada di permukaan bumi tanpa membedakan sumbernya. “Jika ada pernyataan salah, mohon dimaafkan. Pernyataan di twitter tersebut telah dihapus,” demikian seperti yang dirilis Tribun Pontianak Selasa 28 Agustus 2018.
Jauh sebelum kasus pernyataan ini pada tahun 1997 ketika terjadi bencana kabut asap hebat di Kalbar, Kadis Kehutanan Kalbar waktu itu yakni Ir. Karsan Sukardi pernah bermasalah dengan pernyataan bahwa penyebab kabut asap adalah prilaku para peladang berpindah. Akibatnya ia menerima gelombang demonstrasi besar-besaran dari masyarakat lokal yang notabene banyak berprofesi sebagai petani. Akhirnya pak Karsan di hukum adat capa molot pada ditahun itu.
Masalah Kabut Asap memang menjadi momok tersendiri bagi Negara kita. Tiap tahunnya Sumatera dan Kalimantan selalu menjadi perhatian untuk penanganan dan pencegahan kebakaran lahan dan hutan. Menjadikan petani, masyarakat tradisional dengan kearifan lokalnya sebagai kambing hitam adalah statement yang kurang bijak. Baiknya dikaji betul untuk mengeluarkan sebuah pernyataan terkait dengan hal ini apalagi lewat media.
Dari pantauan satelit tentu menunjukkan dimana saja titik api yang sangat berpengaruh menyumbang produksi kabut asap. Perlu investigasi khusus siapa dan oknum mana saja yang mengakibatkan terjadinya kebakaran lahan dan hutan. Kemudian karakteristik lahan khususnya lahan gambut yang sangat berpotensi terbakar dan menyebabkan kabut asap. Menyalahkan Gawai yang notabene adalah acara ritual adat setelah panen padi adalah sebuah hal yang tidak tepat. Menyalahkan peladang tradisional dengan kearifan lokalnya yang telah ada sejak ratusan tahun juga tidaklah tepat.
Namun menyederhanakan kabut asap sebagai hal yang biasa juga bukanlah hal yang tepat pula. Maka upaya pemerintah untuk mencegah dan menangani masalah kebakaran lahan dan hutan harus didukung oleh kita semua. Masyarakat juga harus berperan dan berkontribusi untuk terlibat aktif dalam upaya mencegah kebakaran lahan. Koorperasi perkebunan pun harus melaksanakan investasi yang jujur dan bermoral dengan tidak mengabaikan aspek lingkungan ketika menjalankan operasionalnya. Pemerintah juga harus menegakkan hukum untuk memberi efek jera bagi siapa saja yang terbukti melakukan penyalahan dalam kegiatan pembakaran lahan yang berkontribusi pada kebakaran dengan skala luas yang berimbas pada bencana kabut asap. Tentu hal tersebut juga disertai dengan pernyataan-pernyataan yang solutif dari pihak terkait bukan pernyataan yang makin memperkeruh keadaan. (JWKS)
0 Komentar